SYARAT-SYARAT MENEGUR DENGAN LAFADZ YANG KERAS

▪▪▪▪▪▪▪
SYARAT-SYARAT MENEGUR DENGAN LAFADZ YANG KERAS
➖➖➖➖➖➖➖

�� Ibnul Wazir rohimahullôh mengatakan:

«وَاعْلَمْ أَنَّ لِلزَّجْرِ وَالتَّخْوِيْفِ بِالأَلْفَاظِ الغَلِيْظَةِ شُرُوطًا أَرْبَعَة:
شَرْطَينِ فِي الإبَاحةِ، وَهُمَا: أَن لَّا يَكونَ المَزْجُور مُحِقًّا فِي قَولِهِ أَو فِعلِهِ، وَأنْ لاَّ يَكونَ الزَّاجِرُ كَاذِباً فِي قَولِهِ، فَلاَ يَقُول لِمن ارتكب مكروهاً: يا عاصي، ولا لِمَن ارتكب ذنباً لا يعلم كِبْرَهُ : يَا فَاسِق، وَلَا لِصَاحِبِ الفِسْقِ -مِنَ المسلمين-: يَا كَافِر. وَنحو ذَلكَ.

“Ketahuilah bahwasanya dalam (perkara) menegur dan mengancam dengan lafadz-lafadz yang keras memiliki 4 syarat:

✔ Dua syarat dalam pembolehannya, yaitu:

1⃣ Tidak dalam keadaan orang yang ditegur pada posisi kebenaran dalam ucapan maupun perbuatannya.

2⃣ Tidak dalam keadaan yang menegur keras pada posisi berdusta dalam ucapannya.

❗Maka janganlah ia mengucapkan kepada orang yang melakukan sesuatu yang makruh: “Wahai orang yang bermaksiat!”

❗Dan tidak pula bagi orang yang melakukan suatu dosa yang ia tidaklah tahu akan kadar tingkatan dosanya: “Wahai orang fasiq.”

❗Dan tidak pula mengatakan pada orang fasiq dari kaum muslimin: “Wahai orang kafir.” Atau yang lainnya.

وَشَرْطَيْنِ فِي النَّدبِ، وَهُمَا: أَنْ يظنَّ المتكلمُ أنَّ الشدَّة أقربُ إلى قبولِ الخَصْمِ للحقِّ، أو إلى وضوحِ الدليلِ عليه، وأن يفعلَ ذلك بنيَّةٍ صحيحةٍ، ولا يفْعَلُهُ لمجردِ داعيةِ الطبيعة

✔ Dan dua syarat dalam mustahabnya, yaitu:

3⃣ Orang yang menegur memiliki perkiraan bahwa dengan sikap kerasnya dia akan mendekatkan seorang (yang ditegur) untuk mendekatkan dia untuk menerima kebenaran ketika berdebat atau untuk memaparkan dalil kepadanya.

4⃣ Hendaknya dilakukan hal tersebut dengan niat yang benar, bukannya hanya dari dorongan tabiat watak.

�� Lihat “Al-‘Awâshim wal Qowâshim” oleh Ibnul Wazîr rohimahullôh (1/234).