15 February 2016

Sahabat sejati adalah sahabat di saat kesulitan dan kesusahan

[11:57 15/02/2016] ‪+62 831-6711-4475‬: []

Salah satu tolak ukurnya adalah dengan safar karena safar identik dengan kesulitan dan kesusahan. Disaat senang dan tenang semua bisa jadi teman akan tetapi di saat sulit dan susah tidak semua bisa jadi teman yang baik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟﺴَّﻔَﺮُ ﻗِﻄْﻌَﺔٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌَﺬَﺍﺏِ ﻳَﻤْﻨَﻊُ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢْ ﻃَﻌَﺎﻣَﻪُ ﻭَﺷَﺮَﺍﺑَﻪُ ﻭَﻧَﻮْﻣَﻪُ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻗَﻀَﻰ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻧَﻬْﻤَﺘَﻪُ ﻣِﻦْ ﺳَﻔَﺮِﻩِ ﻓَﻠْﻴُﻌَﺠِّﻞْ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻫْﻠِﻪِ

“ Bepergian itu bagian dari azab . Seseorang akan terhalang (terganggu) makan, minum, dan tidurnya. Maka, bila seseorang telah menunaikan maksud safarnya, hendaklah ia menyegerakan diri kembali kepada keluarganya.” [Shahih Al-Bukhari no. 1804 dan Shahih Muslim no. 179]

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,

ﻭﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﺁﺫﻯ ﻫﻮ ﻣﻈﻨﺔ ﺍﻟﻀﺠﺮ ﺣِﺴﻦَ ﺍﻟﺨﻠﻖ، ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻀﺮ ﺃﺣﺴﻦ ﺧﻠﻘﺎً . ﻭﻗﺪ ﻗﻴﻞ : ﺇﺫﺍ ﺃﺛﻨﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻣﻌﺎﻣﻠﻮﻩ ﺑﻰ ﺍﻟﺤﻀﺮ ﻭﺭﻓﻘﺎﺅﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﻓﻼ ﺗﺸﻜﻮﺍ ﻓﻲ ﺻﻼﺣﻪ .

“Barangsiapa yang ketika bersafar mengalami kesusahan dan keletihan ia tetap berakhlak yang baik, maka ketika tidak bersafar ia akan beraklak lebh baik lagi. Sehingga dikatakan, jika seseorang dipuji muamalahnya ketika tidak bersafar dan dipuji muamalahnya oleh para teman safarnya,maka janganlah engkau meragukan kebaikannya.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin 1/39, Syamilah]

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi  juga berkata,

ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺳﻤﻰ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﺳﻔﺮﺍً، ﺃﻧﻪ ﻳﺴﻔﺮ ﻋﻦ ﺍﻷﺧﻼﻕ . ﻭﻓﻰ ﺍﻟﺠﻤﻠﺔ ﻓﺎﻟﻨﻔﺲ ﻓﻰ ﺍﻟﻮﻃﻦ ﻻ ﺗﻈﻬﺮ ﺧﺒﺎﺋﺚ ﺃﺧﻼﻗﻬﻢ ﻻﺳﺘﺌﻨﺎﺳﻬﺎ ﺑﻤﺎ ﻳﻮﺍﻓﻖ ﻃﺒﻌﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺄﻟﻮﻓﺎﺕ ﺍﻟﻤﻌﻬﻮﺩﺓ، ﻓﺈﺫﺍ ﺣﻤﻠﺖ ﻭﻋﺜﺎﺀ ﺍﻟﺴﻔﺮ، ﻭﺻﺮﻓﺖ ﻋﻦ ﻣﺄﻟﻮﻓﺎﺗﻬﺎ ﺍﻟﻤﻌﺘﺎﺩﺓ، ﻭﻻﻣﺘﺤﻨﺖ ﺑﻤﺸﺎﻕ ﺍﻟﻐﺮﺑﺔ، ﺍﻧﻜﺸﻔﺖ ﻏﻮﺍﺋﻠﻬﺎ، ﻭﻭﻗﻊ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﻋﻠﻰ ﻋﻴﻮﺑﻬﺎ

“Disebut as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang. Pada umumnya, seseorang yang tinggal di daerah asalnya tidak menampakkan kejelekan akhlaknya karena ia terbiasa dengan apa yang seseuai dengan tabiatnya yang biasa ia hadapi. Jika ia melakukan safar, maka tidak tidak biasa lagi dengan keadaan dan kebiasaannya. Ia akan diuji dengan kesusahan safar yang berat dan tersingkaplah kejelekan dan diketahui aib-aibnya.”.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin 2/57, Syamilah]
[11:59 15/02/2016] ‪+62 831-6711-4475‬: Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘UtsaiminRohimahullah mengatakan,

ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ : ﺇﻧﻤﺎ ﺳﻤّﻲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﺳﻔﺮﺍً؛ ﻷﻧﻪ ﻳﺴﻔﺮ ﻋﻦ ﺃﺧﻼﻕ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ، ﺃﻱ : ﻳﻮﺿﺤﻬﺎ ﻭﻳﺒﻴّﻨﻬﺎ، ﻓﺈﻥ ﻛﺜﻴﺮﺍً ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻻ ﺗﻌﺮﻑ ﺃﺧﻼﻗﻪ ﻭﻻ ﺣﺴﻦ ﺳﻴﺮﺗﻪ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﺳﺎﻓﺮﺕ ﻣﻌﻪ، ﻭﻛﺎﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻘﻀﺎﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺇﺫﺍ ﺷﻬﺪ ﺷﺨﺺ ﻵﺧﺮ ﺑﺘﺰﻛﻴﺔ ﻗﺎﻝ ﻟﻪ : ﻫﻞ ﺳﺎﻓﺮﺕ ﻣﻌﻪ؟ ﻓﺈﻥ ﻗﺎﻝ : ﻻ، ﻗﺎﻝ : ﻫﻞ ﻋﺎﻣﻠﺘﻪ؟ ﻗﺎﻝ : ﻻ، ﻗﺎﻝ : ﺇﺫﻥ ﻻ ﺗﻌﺮﻓﻪ .

Sebagian ulama berpendapat bahwa safar/bepergian dinamakan dengan istilah safar karena dengan bersafar terbukalah/jelaslah akhlak seseorang. Karena sesungguhnya kita tidaklah dapat benar-benar mengenal akhlak dan baiknya budi pekerti kebanyakan orang kecuali jika kita sudah pernah safar bersamanya. Merupakan kebiasaan sebagian hakim di jaman salaf dulu apabila ada seseorang yang mengklaim/menilai/bersaksi atas baik seseorang lainnya maka mereka terlebih dahulu bertanya ‘apakah anda sudah pernah safar bersamanya?’ jika orang tersebut mengatakan, ‘belum’ maka ditanyakan padanya ‘apakah anda mengenalnya ?’ jika dia menjawab, ‘tidak’. Maka mereka akan mengatakan, ‘kalau begitu anda tidak benar-benar mengenal di si fulan tersebut (sehingga persaksian anda atas dirinya tidak dapat diterima –ed.)’.

ﻓﺎﻟﺴﻔﺮ ﻳﺒﻴّﻦ ﺃﺧﻼﻕ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ، ﻭﻛﻢ ﻣﻦ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺗﺮﺍﻩ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻭﺗﺸﺎﻫﺪﻩ ﻭﻻ ﺗﻌﺮﻑ ﻋﻦ ﺃﺧﻼﻗﻪ ﻭﻣﻌﺎﻣﻼﺗﻪ ﺷﻴﺌﺎً، ﻓﺈﺫﺍ ﺳﺎﻓﺮﺕ ﻣﻌﻪ ﺗﺒﻴﻦ ﻟﻚ ﻣﻦ ﺃﺧﻼﻗﻪ ﻭﻣﻌﺎﻣﻼﺗﻪ، ﻻ ﺳﻴﻤﺎ ﻓﻴﻤﺎ ﺳﺒﻖ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﺣﻴﺚ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻷﺳﻔﺎﺭ ﺗﺴﺘﻤﺮ ﺃﻳﺎﻣﺎً ﻛﺜﻴﺮﺓ، ﺃﻣﺎ ﺳﻔﺮﻧﺎ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺒﻴّﻦ ﻋﻦ ﺃﺧﻼﻕ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻳﺎﺽ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﺼﻴﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻄﺎﺋﺮﺓ ﻓﻲ ﺧﻤﺲ ﻭﺛﻼﺛﻴﻦ ﺩﻗﻴﻘﺔ . ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻷﺳﻔﺎﺭ ﺍﻟﻄﻮﻳﻠﺔ ﻫﻲ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺒﻴّﻦ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ .

Maka dengan bersafar jelaslah akhlak seseorang. Betapa banyak orang yang jika ia berada di tempat tinggal yang kita lihat dan saksikan namun kita tidak benar-benar mengetahui akhlaknya dan mu’amalahnya sedikitpun. Namun jika kita safar dengannya maka jelaslah bagi kita akhlaknya dan mu’amalahnya. Terlebih lagi di zaman dahulu yang safar memakan waktu yang sangat lama. Adapun safar kita sekarang ini, maka belumlah dapat menjelaskan akhlak seseorang. Semisal safar dari Riyadh ke Qosim dengan menggunakan pesawat terbang maka hanya memakan waktu 35 menit. Namun dengan safar yang memakan waktu lamalah yang dengannya dapat diketahui akhlak seorang” [Syarhul Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’ oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin hal. 295/II terbitan Al Kitab Al ‘Alimi, Beirut Lebanon.]

Comments
0 Comments

0 comments

Post a Comment

Dengan berkomentar maka Anda telah membantu Saya mengingat kembali postingan yang saya publikasikan. Terima Kasih...