30 October 2015

20 PELAJARAN RINGKAS SEPUTAR ISTISQO’

[9:12 29/10/2015] ‪+62 822-3373-8171‬: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

20 PELAJARAN RINGKAS SEPUTAR ISTISQO’

[ 1 ] Pengertian Istisqo’.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«الإِسْتِسْقَاءُ طَلَبُ السُّقْيَا. وَالإِسْتِسْقَاءُ يَكُونُ بِالصَّلاَةِ المَعْرُوفَةِ المَشْهُوْرَةِ وَهِيَ أَنْ يَخْرُجَ النَّاسُ إِلَى المُصَلَّى العِيْدِ، وَيَدْعُوا اللَه عَزَّوَجَلَّ».
“Istisqo’ adalah meminta air. Dan Istisqo’ dilaksanakan dengan sholat yang ma’ruf lagi masyhur, yaitu adalah orang-orang keluar menuju musholla ‘Ied dan berdo’a kepada Alloh azza wa jalla.” [lihat “Syarh Shohih Al-Bukhori” (4/67)]

[ 2 ] Tempat pelaksanakaan Istisqo’.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«يَكُونُ أَيْضًا فِي خُطْبَةِ الجُمُعَةِ وَيَكُونُ فِي كُلِّ مَكَانٍ، فَيَكُونُ فِي حَالِ السُّجُودِ فِي الصَّلاَةِ، وَيَكونُ فِي حَالِ انْتِظَارِ الصَّلاَةِ، وَيَكُونُ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ».
“(Istisqo’) bisa dikerjakan juga pada saat khutbah jum’ah, pada setiap saat, pada saat sujud ketika sholat, pada saat menunggu sholat, (begitu juga) pada saat antara adzan dan iqomah.” [lihat “Syarh Shohih Al-Bukhori” (4/67)]

[ 3 ] Sebab disyari’atkan sholat Istisqo’.
An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:
«قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي "الأُمّ"وَأَصْحَابُنَا: إِنَّمَا يُشْرَعُ الاِسْتِسْقَاءُ إِذَا أَجْدَبَتِ الأَرْضِ، وَانْقَطَعَ الغَيْثِ، أَوِ النَّهْر، أَوِ العُيُون المُحْتَاجُ إِلَيْهَا، وَقَدْ ثَبَتَتْ الأَحَادِيْثُ الصَّحِيْحَةُ فِي اسْتِسْقَاءِ الرَّسُولِ ﷺ بِالصَّلاَةِ، وَالدُّعَاءِ.
وَلَوْ انْقَطَعَتْ المِيَاهُ، وَلَمْ يَدْعُ إِلَيْهَا حَاجَة فِي ذَلِكَ الوَقْتِ؛ لَمْ يَسْتَسْقَوا لِعَدَمِ الحَاجَةِ.
وَلَو انْقَطَعَتْ الِمَيَاهُ عَنْ طَائِفَةٍ دُونَ طَائِفَةٍ، أَوْ اجْدَبَتْ طَائِفَةٌ، وَأَخْصَبِتْ أُخْرَى؛ اسْتَحَبَّ لِأَهْلِ الخَصْبِ أَنْ يَسْتَسْقَوا لِأَهْلِ الجَدْبِ بِالصَّلاَةِ، وَغَيْرِهَا. اهـ.
“Asy-Syafi’I mengatakan dalam “Al-Umm” begitu juga madzhab kami: Sesungguhnya disyari’atkan istisqo’ apabila terjadi kekeringan bumi, terputusnya hujan atau sungai atau mata air yang dibutuhkan darinya. Dan telah pasti hadits-hadits shohih tentang istisqo’nya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dengan sholat dan do’a. kalau seandainya tidak ada air, serta tidak diperlukan kebutuhan air pada waktu itu, maka tidak (perlu) istisqo’ karena tidak terdapat padanya hajat. Dan kalau seandainya tidak ada air pada suatu kampung dan satu kampung lainnya ada tempat yang subur, maka disukai untuk penduduk negeri yang subur untuk melakukan istisqo’ untuk tempat yang terlanda kekeringan dengan melaksanakan sholat maupun selainnya.” [lihat “Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab” (5/68)]
[9:13 29/10/2015] ‪+62 822-3373-8171‬: [ 4 ] Sikap seseorang ketika hendak Istisqo’
Al-Qurthubi rohimahulloh mengtakan:
«الاسِتْسْقَاءُ إِنَّمَا يَكُونُ عِنْدَ عَدَمِ المَاءِ، وَحَبْسِ المَطَرِ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ، فَالحُكْمُ حِيْنَئِذٍ إِظْهَارُ العُبُودِيَّةِ، وَالفَقْرِ، وَالمَسْكَنَةِ، وَالذِّلَّةِ مَعَ التَّوبَةِ النَّصُوحِ».
“Istisqo’ dilakukan hanya ketika tidak adanya air dan terhalangi turunnya hujan, maka apabila begitu keadaannya, maka hukumnya pada saat itu adalah (seseorang) menampakkan penghambaannya (kepada Alloh), rasa butuh, kesengsaraan, kerendahan yang disertai dengan taubat nashuha.” [lihat “Tafsir Al-Qurthubi” (1/418)]

TANBIH:
Tidak mengapa untuk memakai wewangian ketika keluar untuk istisqo’.
Disebutkan oleh Syamsuddin ‘Abdurrohman Ibnu Qudamah (wafat 682H):
«وَلَا يَتَطَيَّبُ لِأَنَّهُ يَوْمُ اسْتِكَانَةٍ وَخُشُوعٍ»
“Tidak (diperkenankan) untuk memakai wewangian, karena itu adalah hari tertunduk (kepada Alloh) dan khusyu’.” [lihat “Syarhul Kabir” (3/166)]

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan perihal masalah wewangian:
«(وَلاَ يَتَطَيَّبَ)، قال: وَهَذَا مِمَّا فِي النَّفْسِ مِنْهُ شَيء؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ –صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُعْجِبُهُ الطِّيْب وَكَانَ يُحِبُّهُ، وَلاَ يَمْنَعُ إِذَا تَطَيَّبَ الإِنْسَانُ أَنْ يَكُونَ مُتَخَشِّعاً مُسْتَكِيْناً لِله عَزَّ وَجَلَّ».
“Tidak pula memakai wewangian) yang seperti ini perkaranya ada sesuatu yang tidak pas, karena Nabi shollallohu alaihi wa sallam menyukai wewangian dan beliau menyukainya, maka tidaklah menghalangi apabila seseorang memakai wewangian untuk dia bisa khusyu’ dan tunduk kepada Alloh azza wa jalla.” [lihat “Asy-Syarhul Mumti’” (5/211)]

[ 5 ] Hukum Istisqo’.
An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:
«أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الاِسْتِسْقَاءَ سُنَّةٌ»
“Para ‘Ulama telah bersepakat bahwa Istisqo’ adalah sunnah.” [lihat “Syarh Muslim” (6/186)]

Ibnu ‘Abdil Barr rohimahulloh mengatakan:
«أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الخُرُوجَ لِلاسْتِسْقَاءِ، وَالبُرُوزِ عَنِ المِصْرِ، وَالقَرْيَةِ إِلَى الله عز وجل بِالدُّعَاءِ، وَالضَّرَاعَةِ فِي نُزُولِ الغَيْثِ عِنْدَ احْتِيَاجِهِ سُنَّةٌ مَسْنُونَةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللِه ﷺ ، وَعَمِلَهَا الخُلَفَاءُ بَعْدَهُ».
“Para ‘Ulama telah bersepakat bahwa keluar untuk Istisqo’, serta menampakkan kepada Alloh dengan berdoa dari kota maupun desa, serta mengharapkan padanya turunnya hujan ketika dibutuhkan adalah sunnah yang dicontohkan oleh Rosululloh sholallalohu alaihi wa sallam dan yang diamalkan oleh para Khulafa’ setelahnya.” [lihat “Al-Istidzkar” (2/415)]

FAEDAH:
Syaikhuna ‘Abdul Hamid Al-Hajuri hafidzohulloh mengatakan:
كاَنَ الاِسْتِسْقَاءُ مَشْرُوعًا فِي الأُمَمِ المُتَقَدِّمَةِ كَمَا ذَكَرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْ مُوسَى.
“Istisqo’ adalah perkara yang disyari;atkan pada umat-umat terdahulu, sebagaimana Alloh sebutkan tentang Musa, Alloh ta’ala berfirman:
(وَإِذِ اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْناً قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ وَلا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ) (البقرة:60).
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Alloh, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” [lihat “Ithafun Nubala’ fi Ahkamil Istisqo’” (hal.84)]

[ 6 ] Macam-macam bentuk pelaksanaan Istisqo’.
Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
«يُسْتَحَبُّ أَنْ يَسْتَسْقَوا عَقِيْبُ صَلَوَاتِهِمْ، وَيَوْمُ الجُمُعَةِ يَدْعُوا الإِمَامُ عَلَى المِنْبَرِ، وَيُؤَمِّنُ النَّاسُ.
قَالَ القَاضِيُ: الإِسْتِسْقَاءُ عَلَى ثَلاَثَةِ أَضْرُبٍ أَكْمَلُهَا الخُرُوجُ وَالصَّلاَةُ عَلَى مَا وَصَفْنَا، وَيَلِيْهِ اسْتِسْقَاءُ الإِمَامِ يَوْمَ الجُمُعَةِ عَلَى المِنْبَرِ... -ثُمَّ ذَكَر حديث أنس رضي الله عنه الذي ذكره المؤلف-، وَالثَّالِثُ: أَنْ يَدْعُوَا اللَه تَعَالَى عَقِيبُ صَلَوَاتِهِمْ، وَفِي خَلَوَاتِهِمْ».
“Disukai untuk beristisqo setelah waktu sholat dan pada hari jum’ah seorang Imam berdo’a diatas minbar yang diaminkan oleh orang-orang. Al-Qodhi mengatakan: Istisqo’ ada 3 macam; yang paling sempurna adalah keluar disertai dengan sholat sebagaimana apa yang telah kita sifatkan, kemudian selanjutnya adalah dengan Istisqo’nya Imam pada hari jum;at di atas minbar…, kemudian menyebutkan hadits Anas yang disebutkan mua’alif, dan ketiga adalah berdo’a kepada Alloh ta’ala setelah waktu sholat (wajib) dan pada waktu senggang mereka.” [lihat “Al-Mughni” (2/440)]

TANBIH:
Sholat Istisqo’ setelah sholat jum’at adalah bid’ah.
Syaikhuna Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri hafidzohulloh mengatakan:
«صَلَاةُ الاِسْتِسْقَاءِ بَعْدَ صَلاَةِ الجُمُعَةِ بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ  كَانَ إِذَا اسْتَسْقَى يَوْمَ الجُمُعَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ، وَدَعَا، وَلَمْ يَثْبُتْ عَنْهُ ﷺ  أَنَّهُ صَلَّى بَعدَ الجُمُعَةِ صَلاَةَ الاِسْتِسْقَاءِ بَلْ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْتَسْقِيَ بِهِمْ؛ خَرَجَ بِهم يَومًا، فَصَلَّى بِهِمْ، وَخَطَبَ أَمَّا بَعْدَ الجُمُعَةِ، فَلَا».
“Sholat Istisqo’ setelah sholat jum’ah adalah bid’ah muhdatsah, karena Nabi shollallohu alaihi wa sallam apabila melakukan istisqo’ pada hari jum;at mengangkat kedua tangannya seraya berdo’a. dan tidaklah (riwayat yang) pasti dari Nabi shollallohu alaih wa sallam beliau sholat setelah jum;at sholat istisqo’, bahkan beliau apabila hendak istisqo’ untuk mereka, maka beliau keluar pada suatu hari kemudian sholat bersama mereka dan berkhutbah, adapaun setelah jum’at tidaklah (pernah).” [lihat “Ahkamul Jum’ah”]
[9:15 29/10/2015] ‪+62 822-3373-8171‬: [ 7 ] Mustahab untuk keluar ke tanah lapang untuk sholat Istisqo’.
‘Aisyah rodhiyaAllohu anha mengatakan:
«شَكَا النَّاسُ إِلَى رَسُولِ اللهِ قُحُوطَ المَطَرِ، فَأَمَرَ بِمِنْبَرٍ، فَوُضِعَ لَهُ بِالمُصَلَّى، وَوَعَدَ النَّاسُ يَوْمًا يَخُرجُونَ فِيْهِ..»
“Orang-orang mengadu kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam tentang keringnya hujan, maka (beliau) memerintahkan untuk didatangkan minbar, yang kemudian diletakkan di Musholla (tanah lapang), dan menentukan hari yang orang-orang akan kelaur padanya..” [HR. Abu Dawud (no.1173)]

Ibnu Rojab rohimahulloh mengatakan:
«الخُرُوجُ لِصَلاَةِ الإِسْتِسْقَاءِ إِلَى المُصَلَّى مُجْمَعٌ عَليهِ بَيْنَ العُلَماءِ»
“Keluar untuk melaksanakan Istisqo’ menuju tanah lapang adalah perkara yang disepakati padanya diantara para ‘Ulama…” [Fathul Bari” (9/210)]

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:
«فِيْهِ اسْتِحْبَابُ الخُرُوجِ إِلَى الاِسْتِسْقَاءِ فِي الصَّحْرَاءَ؛ لِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِي الإِفْتِقَارِ،  وَالتَّوَاضُعِ».
“Pada hadits tersebut terdapat padanya istihbab keluar untuk Istisqo’ di padang pasir, karena hal tersebut lebih mengena dalam hal rasa butuh dan tawadhu’.” [lihat “Syarh Muslim” (6/187)]

TANBIH PERTAMA:
Perincian seputar sholat Istisqo’ di tanah lapang dan di Masjid.
Syaikhuna ‘Abdul Hamid Al-Hajuri hafidzohulloh mengatakan:
«فَإِذَا كَانَ الاِسْتِسْقَاءُ بِالدُّعَاءِ فِي الخُطْبَةِ، فَيَكُونُ فِي المَسْجِدِ؛ لِهَذَا الحَدِيْثِ، فَلاَ يَجُوزُ لَنَا الإِفْتِئَآتِ عَلَى حَدِيْثِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وَهَدْيِهِ.
وَإِذَا كَانَ الاِسْتِسْقَاءُ فِي غَيْرِ يَومِ الجُمُعَةِ، فَإِنَّهُ يَخْرُجُ بِالمِنْبَرِ إِلَى المُصَلَّى، أَو الصَّحْرَاءَ، إِذَا كَانَ الاِسْتِسْقَاءُ بِخُطْبَةٍ، وَصَلاَة رَكْعَتَينِ، وَإِذَا كَانَ بِدُعاَءِ مُجَرَّدٍ، فَيَجُوزُ فِي المَسْجِدِ، وَخَارِجُ المَسْجِدِ، وَاللهُ أَعْلَمُ».
“Apabila Istisqo’ dengan do’a pada khutbah, maka dikerjakan di Masjid, sebagaimana hadits ini -hadits Anas dalam Shohihain- , maka tidak boleh bagi kita untuk berpaling dari hadits Rosulillah dan petunjuknya.
Dan apabila Istisqo’ selain pada hari jum’at, maka ia keluar dengan (membawa) minbar ke tanah lapang atau padang pasir yang apabila (sholat) Istisqo’ dengan khutbah dan sholat dua rakaat.
Dan apabila hanya dengan do’a saja, maka boleh dilakukan di Masjid atau diluar masjid, waAllohu a’lam.” [Lihat “Ithafun Nubala’” (hal.95)]

TANBIH KEDUA:
Tidak perlu sholat Istisqo’ apabila telah turun hujan.
Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
«إِنْ تَأَهَّبُوا لِلخُرُوجِ، فَسَقَوا قَبْلَ خُرُوجِهِمْ لَمْ يَخْرُجُوا، وَشَكَرُوا اللهَ عَلَى نِعْمَتِهِ، وَسَأَلُوهُ مِنْ فَضْلِهِ»
“Kalau mereka telah bersiap-siap untuk keluar (ke tanah lapang), kemudian telah diturunkan hujan sebelum mereka keluar, maka tidak (perlu) keluar (untuk istisqo’), dan hendaknya mereka bersyukur atas nikmat Alloh dan meminta tambahan dari karuniaNya.” [lihat “Al-Mughni” (2/439)]

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«لَوْ خَرَجُوا فِي هَذَا الحَالِ لَكَانُوا مُبْتَدِعِيْنَ، لِأنَّ صَلَاةَ الإِسْتِسْقَاءِ إِنَّمَا تُشْرَعُ لِطَلَبِ السُّقْيَا، فَإِذَا سَقَوا فَلاَ حاَجةَ لَهَا»
“Kalau mereka (tetap) keluar (ke tanah lapang) dalam keadaan seperti itu (sudah turun hujan) maka kita telah membuat perkara bid’ah, karena sholat istisqo’ hanyalah disyari’atkan untuk meminta turun hujan, maka apabila sudah turun hujan maka tidaklah ada kebutuhan untuk hal tersebut.” [lihat @Asy-Syarhul Mumti’ (5/221)]

TANBIH KETIGA:
Tidak perkenankan untuk perempuan yang masih muda belia untuk keluar istisqo’ apabila menimbulkan fitnah.
Ibnu ‘Abdil Barr rohimahulloh mengatakan:
«وَكُلُّهُمْ كَرِهَ خُرُوجُ النَّسَاءِ الشَّوَابِ إِلَى الاِسْتِسْقَاءِ، وَرَخَّصُوا فِي خُرُوجِ العَجَائِزِ».
“Semuanya memandang makruh tentang keluarnya para wanita belia untuk istisqo’, dan mereka memberikan keringanan tentang keluarnya para wanita yang sudah tua.” [lihat “Al-Istidzkar” (2/419)]

Syaikhuna ‘Abdul Hamid Al-Hajuri mengatakan:
«صَلَاةُ الاِسْتِسْقَاءِ نَاِفلَةٌ مِنْ النَّوَافِلِ الَّتِي يَجُوزُ لِلمَرْأَةِ عَمَلُهَا كَمَا يَجُوزُ لِلرُّجُلِ، وَلاَ خُصُوصِيَّةَ لِلرِّجَالِ هُنَا، وَلاَ يُوجَدُ فِي أحَادِيْثُ الاِسْتِسْقَاءِ إِشَارَةٌ إِلَى عَدَمِ حُضُورِهِنَّ، أَمَّا إِذَا خَشِيَ الفِتْنَةَ، فَلاَ يَخْرُجْنَ سَدًّا لِلذَرِائِعِ، وَهَذَا تَرْجِيْحُ شَيْخِنَا يَحْيَى حَفِظَهُ اللهُ».
“Sholat Istisqo’ adalah termasuk dari nafilah (sholat sunnah) yang seorang perempuan diperbolehkan mengerjakannya sebagaimana bolehnya bagi laki-laki, dan tidak ada kekhususan bagi laki-laki dalam hal ini, dan tidak pula didapati dari hadits-hadits istisqo’ yang mengisyaratkan tentang tidak datangnya para perempuan pada istisqo’. Adapun kalau ditakutkan fitnah, maka hendaknya mereka (para wanita) tidak keluar sebagai bentuk menutup pintu yang mengantarkan kepada (fitnah), maka ini adalah tarjih Syaikhuna Yahya hafidzohulloh.” [Lihat “IthafunNubala’” (145)]

TANBIH KEEMPAT:
Mustahab untuk membawa anak-anak dan orang tua untuk istisqo’.
Asy-Syafi’I rohimahulloh mengatakan:
«وَأُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ الصِّبْيَانُ، وَيَتَنَظَّفُوا لِلإِسْتِسْقَاءِ، وَكِبَارُ النِّسَاءِ، وَمَنْ لَا هَيْئَةَ لَهَا مِنْهُنَّ».
“Aku menyukai untuk mengeluarkan para anak-anak dan membersihkan diri untuk istisqo’, (begitu juga) para wanita tua dan siapa saja yang tidak mempunyai perangai yang menarik dari mereka.” [lihat “Al-Umm” (1/413)]

Syamsuddin ‘Abdurrohman Ibnu Qudamah (wafat 682H) mengatakan:
«وَيَجوزُ خُرُوجُ الصِّبْيَانِ كَغَيرِهِمْ مِنَ النَّاسِ، وَقَالَ ابْنُ حَامِد: يُسْتَحَبُّ، اخْتارَهُ القَاضِي، فَقَالَ: خُرُوجُ الشُّيُوخِ، واَلصِّبْيَانِ أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا مِنَ الشِّيَابِ؛ لِأَنَّ الصِّبْيَانَ لاَ ذُنُوبَ لَهُمْ».
“Diperbolehkan untuk keluarnya anak-anak (untuk istisqo),  sebagaimana lainnya dari manusia. Ibnu Hamid mengatakan: mustahab, ini yang dipilih oleh Al-Qodhi, seraya mengatakan: keluarnya para orang tua dan anak-anak lebih disukai daripada para pemuda untuk keluar (istisqo), karena para anak-anak mereka tidaklah mempunyai dosa.” [lihat “Asy-Syarhul Kabir” (3/167)]
  
[ 8 ] Jumlah rakaat sholat Istisqo’.
عَنْ عَبْدِ الله بْنِ زَيْدٍ بن عَاصَمٍ قَالَ: «خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى المُصَلَّى، فَاسْتَسْقَى، وَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ، وَقَلَّبَ رِدَاءَهُ، وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ»
Dari ‘Abdulloh bin Zaid bin ‘Ashim: Nabi shollallohu alaihi wa sallam keluar menuju musholla (tanah lapang), kemudian beristisqo’, menghadapkan ke kiblat, membolak balikkan selendangnya dan sholat dua raka’at.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Asy-Syaukani rohimahulloh mengatakan:
«وَقَدْ وَقَعَ الإِجْمَاعُ مِنَ المُثْبِتِيْنَ لِلصَّلاَةِ أَنَّهَا رَكْعَتَانِ، كَمَا حَكَى ذَلِكَ النَّوَوِي فِي شَرْحِهِ لِمُسْلِمٍ».
“Telah terjadi ijma’ dari yang menetapkan sholat (Istisqo’) bahwa jumlahnya adalah dua rakat, sebagaimana dihikayatkan oleh An-Nawawi dalam syarah Muslim.” [lihat “Nailul Author” (2/654)]

[ 9 ] Berjama’ah pada sholat Istisqo’.
Ibnul Mulaqqin rohimahulloh mengatakan:
«أَنَّ السُّنَّةَ فِي صَلاَةِ الاِسْتِسْقَاءِ أَنْ تَكُونَ جَمَاعَةً».
“Bahwasanya sunnahnya dalam sholat Istisqo’ adalah dilakukan dalam (keadaan) berjama’ah.” [lihat “Al-‘Ilam bie Fawaid ‘Umdatil Ahkam” (4/328)]

[ 10 ] Tata cara sholat Istisqo’.
Ibnul Mundzir rohimahulloh mengatakan:
«اخْتَلفَ أَهْلُ العِلْمِ فِي عَدَدِ التَّكْبِيْرِ فِي صَلاَةِ الاِسْتِسْقَاءِ، فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، كَسَائِرِ الصَّلاَةِ، لاَ يُكَبِّرُ  فِيْهَا تَكْبِيْرَ العِيْدِ هَذَا قَولُ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ، وَأَبِي ثَوْرٍ، وَإِسْحَاقَ.
وَحُجَّة مَنْ قَالَ هَذَا القَوْلُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلاَةَ الاِسْتِسْقَاءِ رَكْعَتَيْنِ، وَلَيْسَ فِيْهَا أَنَّهُ كَبَّرَ فِيْهِمَا كَتَكْبِيْرِ العِيْدَيْنِ، وَظَاهِرُ هَذَا أَنْ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ كَسَائِرِ الصَّلَوَاتِ.
وَالعِيْدُ مَخْصُوصٌ بِزِيَادَةِ التَّكْبِيْرِ لاَ يُقَاسُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ عَلَيْنَا الإِتِّبَاعُ، وَوَضْعُ كُلِّ سُنَّةٍ مَوضِعهَا».
Para Ahlul ‘ilmi telah berselisih pada jumlah bilangan takbir pada sholat Istisqo’, sebagian kelompok mengatakan: sholat dua rakaat sebagaimana sholat yang lainnya, yang tidak bertakbir padanya sebagaimana takbir ‘ied, (maka) ini adalah pendapat Malik bin Anas, Abu Tsaur dan Ishaq.
Dan hujjah yang mengatakan pendapat ini adalah bahwasanya Nabi shollalohu alaih wa salla, telah sholat Istisqo’ dua rakaat, dan tidaklah terdapat padanya bahwasanya beliau bertakbir pada dua rakaat tersebut sebagaimana pada takbir (sholat) Iedain. Dan (oleh karena itu) dzohir dari hal tersebut adalah beliau sholat dua rakaat sebagaimana sholat yang lainnya. Dan (perkara) ‘Ied adalah khusus dengan tambahan takbiur yang tidak bisa diqiyaskan dengannya, karena wajib bagi kita untuk mengikuti serta meletakkan sunnah sesuai dengan tempatnya.” [Lihat “Al-Ausath” (4/320)]
[9:16 29/10/2015] ‪+62 822-3373-8171‬: [ 11 ] Waktu sholat Istisqo’.
Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
«وَلَيْسَ لَهَا وَقْتٌ مَعَيَّنٌ إِلَّا أَنَّهَا لاَ تُفْعَلُ فِي وَقْتِ النَّهْيِ بِغَيْرِ خِلاَفٍ؛ لِأَنَّ وَقْتَهَا مُتَّسَعٌ، فَلَا حَاجَةَ إِلَى فِعْلِهَا فِي وَقْتِ النَّهْيِ إِلَّا أَنَّ فِعْلَهَا فِي وَقْتِ العِيْدِ، لِمَا رَوَتْ عَائِشَةُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ حِيْنَ بَدَا حَاجِبُ الشَّمْسِ».
“(Sholat Istisqo’) tidaklah ada waktu tertentu akan tetapi Istisqo’ tidaklah dilaksanakan pada waktu terlarang tanpa ada perselisihan (dalam hal ini), karena waktunya adalah banyak (luang), maka tidak ada kebutuhan untuk dikerjakan pada waktu terlarang, akan tetapi dilaksanakan pada waktunya ‘Ied, sebagaimana diriwayatkan ‘Aisyah dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam bahwasanya Rosululloh shollallohu aliah wa sallan keluar ketika telah nampak pancaran matahari.” [lihat “Al-Mughni” (2/149)]

TANBIH:
Tidak mengkhususkan Istisqo’ pada hari Senin dan Kamis!
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«لَكِنْ كَوْنُنَا نَجْعَلُهُ سُنَّةً رَاتِبَةً لاَ يَكُونُ الاِسْتِسْقَاءُ إِلَّا فِي يَومِ الإِثْنَيْنِ، أَوْ نَأْمُرُ النَّاسَ بِالصَّومِ، فَهَذَا فِيْهِ نَظَر».
“Ketika kita menjadikannya sebagai sunnah rotibah, yang tidaklah dilakukan istisqo’ kecuali pada hari Senin atau kita memerintahkan orang-orang untuk berpuasa, maka yang seperti ini perlu dicermati lagi (perkaranya).” [lihat “Syarh Zaad” (5/272)]

[ 12 ] Tidak ada adzan dan iqomah dalam sholat Istisqo’.
Ibnu Bathol rohimahulloh mengatakan:
«أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لاَ أَذَانَ، وَلاَ إِقَامَةَ لِلإِسْتِسْقَاءِ».
“Mereka telah bersepakat bahwa tidak ada adzan dan tidak pula iqomah untuk Istisqo’.” [dinukil dari “Fathul Bari” (2/662)]

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«وَالمَذْهَبُ يَرَونَ أَنَّهُ يُنَادَي لِلكُسُوفِ، وَالعِيْدِ، وَالاِسْتِسْقَاءِ، (بِـ الصَّلاَةُ جَامِعَة) وَلَكِنْ مَا ذَكَرَهُ الأَصْحَابُ فِي المُنَادَاةِ لِلعِيْدِ، والاِسْتِسْقَاءِ ضَعِيْفٌ جِدًا؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ هَدْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَالعِيْدُ وَقَعَ فِي عَهْدِ النِّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَمْ يُنَادَى لَهُ، وَصَلاَةُ الاِسْتِسْقَاءِ كَذَلِك، وَلَم يُنَادَى لَهَا، وَقَدْ ذَكَرْنَا قَاعِدَةً فِيْمَا سَبَقَ: (أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ وُجِدَ سَبَبُهُ فِي عَهْدِ رَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَمْ يُشْرَعْ لَهُ شِيءٌ مِنَ العِبَادَاتِ، فَشُرِعَ شَيءٌ مِنَ العِبَادَاتِ مِنْ أَجْلِهِ يَكُونُ بِدْعَةً».
“Dan madzhab berpendapat bahwa ada nida’ (panggilan) untuk Kusuf (sholat gerhana), ‘Ied dan Istisqo’ dengan (Ash-Sholatu Jami’ah). Akan tetapi apa yang disebutkan madzhab dalam (perkara) panggilan untuk ‘Ied dan Istisqo’ adalah lemah sekali, karena hal tersebut bertentangan dengan petunjuk Nabi shollallohu alaihi wa sallam. Adapun ‘Ied telah terjadi di zaman Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan tidaklah dilakukan padanya (suatu bentuk) panggilan.
Dan begitu juga sholat Istisqo’,  tidaklah dilakukan padanya (suatu bentuk) panggilan untuknya. Dan telah kami sebutkan suatu kaedah sebagaimana telah disebutkan: (bahwa setiap sesuatu yang ada sebabnya di zaman Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam yang kemudian tidaklah disyari’atkan hal tersebut dari perkara ibadah, maka mensyari’atkannya sesuatu ibadah karenanya adalah bid’ah).” [lihat “Asy-Syarhul Mumti’” (5/289-290)]

[ 13 ] Mengeraskan bacaan sholat Istisqo’.
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمْيمٍ عَنْ عَمِّهِ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَسْقِي، فَتَوَجَّهَ إِلَى القِبْلَةِ يَدْعُو، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، جَهَرَ فِيْهِمَا بِالقِرَاءَةِ.
Dari Abbad bin Tamim dari pamannya berkata: Rosululloh telah keluar beristisqo’, maka beliau menghadapkan wajahnya ke kiblat seraya berdoa dan memindahkan selendangnya, kemudian sholat sholat dua rakaat seraya mengeraskan bacaan pada dua rakaat tersebut.” [HR. Al-Bukhori]

An-Nawawi rohimahulloh mengatakan:
«وَلَمْ يَذْكُرْ فِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ الجَهْرُ بِالقِرَاءَةِ، وَذَكَرَهُ البُخَارِيُّ، وَأَجْمَعُوا عَلَى اسْتِحْبَابِهِ».
“Tidak disebutkan dalam riwayat Muslim mengeraskan bacaan, dan (riwayat) disebutkan oleh Al-Bukhori, dan telah bersepakat tentang mustahabnya.” [lihat “Syarh shohih Muslim”]

TANBIH:
Tidak ada bacaan surat khusus ketika sholat Istisqo’.
مِنْ حَديث أَنَسٍ مرفوعًا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِيْهِمَا »بـ سَبِّحِ«، وَ»هَلْ أَتاكَ حَدِيْثُ الغَاشِيَةِ«.
Dari hadits Anas secara marfu’: bahwasanya Nabi shollallohu alaih wa sallam membaca pada dua rakaat: (surat Al-A’la dan Al-Ghosyiyah).” [HR. Abu Dawud, Ahmad, At-Tirmidzi]

Ibnu Rojab rohimahulloh mengatakan:
«وَإِسْنَادُهُ لاَ يِصِحُّ فِيْهِ، مُجَاشِعُ بْنِ عَمْرو مَتْرُوكُ الحَدِيْث».
“Sanadnya tidaklah shohih, terdapat padanya Mujasyi’ bin ‘Amr matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).” [lihat “Fathul Bari’” oleh Ibnu Rojab (9/201)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Albani rohimahulloh mengatakan:
«فَالصَّوَابُ أَن يَقْرَأَ مَا تَيَسَّرَ لاَ يَلْتَزِمُ سُوْرَةً مُعَيَّنَةً»
“Yang benar adalah membaca dengan apa yang dimudahkan baginya dan tidaklah diharuskan untuk membaca surat tertentu.” [lihat “Tamamul Minnah” (hal.264)]
[9:17 29/10/2015] ‪+62 822-3373-8171‬: [ 14 ] Mendahulukan khuthbah Istisqo’ daripada sholat.
Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan: pada konteks risalahnya Laits kepada Imam Malik:
«وَالاِسْتِسقَاءُ كَهَيْئَةِ يَوْمِ الجُمُعَةِ إِلَّا أَنَّ الإِمَامَ إِذَا دَنَا مِنْ فَرَاغِهِ مِنَ الخُطْبَةِ، فَدَعَا، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ، ثُمَّ نَزَلَ، فَصَلَّى...وَقَدْ اسْتَسْقَى عُمَرُ بْنِ عَبْدِ العَزِيْز، وَأَبُو بَكْرٍ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرو بْنِ حَزْمٍ، وَغَيْرُهُمَا، فَكُلُّهُمْ يُقَدِّمُ الخُطْبَةَ، وَالدُّعَاءَ قَبْلَ الصَّلاَةِ».
“Istisqo’ seperti pada hari jum’at akan tetapi apabila Imam sudah dekat selesai dari khutbahnya, maka ia berdoa serta memindahkan selendangnya kemudian turun dan melaksanakan sholat… dan telah melakukan istisqo’ ‘Umar bin ‘Abdil Aziz, Abu Bakr bin ‘Amr bin Hazm dan selain keduany, dalam keadaan semuanya mereka mendahulukan khutbah dan do’a sebelum sholat.” [lihat “Al-I’lam” (3/112-113)]

TANBIH PERTAMA:
Khutbah Istisqo’ hanyalah satu khutbah.
Ibnu ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«وَأَمَّا خُطْبَةُ الاِسْتِسْقَاءِ، فَهِيَ خُطْبَةٌ وَاحِدَةٌ».
“Adapun khutbah istisqo’, adalah satu khutbah.” [lihat “Majmu’ Fatawa” (no.1435)]

TANBIH KEDUA:
Mustahab bagi Imam ketika berkhutbah untuk mengarah ke kiblat.
Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan:
«يُسْتَحَبُّ لِلخَطِيبِ اسْتِقْبَالَ القِبْلَةَ فِي أَثْناَءِ الخُطْبَةِ، لِمَا رَوَى عَبدُ الله بْنِ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ خَرَجَ يَسْتَسْقِي فَتَوَجَّهَ إِلَى القِبْلَةِ يَدْعُوا. رَوَاهُ البُخَارِي. وَفِي لَفْظٍ: «فَحَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ يَدْعُوا».
“Mustahab bagi khothib untuk menghadap ke kiblat ketika berkhutbah, sebagaimana diriwayatkan dari Abdulloh bin Zaid bahwasanya Nabi shollallohu alaihi wa sallam keluar beristiqo’, kemudian menghadapkan ke kiblat berdo’a. HR. Al-Bukhori.
Dalam sebagian riwayat: “kemudian mengarahkan kepada manusia dengan punggungnya serta menghadapkan ke kiblat seraya berdoa.” [lihat “Al-Mughni” (3/171)

[ 15 ] Berdoa istisqo’ dengan berdiri.
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمْيمٍ عَنْ عَمِّهِ، قَالَ:أَنَّ النبي خَرَجَ بِالنَّاسِ يَسْتَسْقِي لَهُمْ، فَقَامَ فَدَعَا اللهَ قَائِمًا...
Dari Abbad bin Tamim dari pamannya berkata: Bahwasanya Nabi shollallohu alaihi wa sallam keluar beristisqo’ untuk mereka, maka beliau berdiri dan berdoa kepada Alloh dalam keadaan berdiri.” [HR. Al-Bukhori (no.1023)]

Al-Hafidz rohimahullloh mengatakan:
«أَيّ فِي الخُطْبَةِ، وَغَيْرِهَا، قَالَ ابْنُ بَطَّالُ: الحِكْمَةُ فِيْهِ كَونُهُ حَال خُشُوعٍ، وَإِنَابِهِ، فَيُنَاسِبُهُ القِيَامُ، وَقَالَ غَيْرُهُ: القِيَامُ شِعَارُ الإِعْتِنَاءِ، وَالإِهْتِمَامِ، وَالدُّعَاءُ: أَهَمُّ أَعْمَالِ الاِسْتِسْقَاءِ، فَنَاسَبَهُ القِيَامُ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ قَاَم لِيَرَاهُ النَّاسُ؛ فَيْقَتْدُوا بِهِ فِيْمَا يَضَعُ».
Yakni pada khutbah maupun selainnya, Ibnul Bathol mengatakan: hikmah dalam hal tersebut agar lebih khusyu’ serta kembali kepadaNya, maka lebih pas untuk seseorang berdiri. Ada yang mengatakan: berdiri adalah tanda memerhatikan dan perhatian, dan do’a adalah hal yang paling oenting dari amalan istisqo’, maka cocok untuk seseorang berdiri. Dan mungkin juga dengan berdirinya dia akan dilihat manusia, yang dengannya bisa dicontoh dengan apa yang beliau perbuat.” [lihat “Fathul Bari” (2/661)]

TANBIH PERTAMA:
Seorang Imam berdoa istisqo’ dengan menghadap kiblat.
Syaikhuna Abdul Hamid Al-Hajuri:
«السُّنَّةُ فِي دُعَاءِ الاِسْتِسْقَاءِ أَنْ يَتَّجِهَ الإِمَامُ إِلَى القِبْلَةِ، وَالدَّلِيْلُ عَلَى ذَلِكَ حَدِيْثُ عَبْدِ اللهِ ْبنِ زَيْدٍ: وَأَنَّهُ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ، وَفِي رِوَايَةٍ: دَعَا اسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ».
“Yang sunnah dalam berdo’a istisqo’ adalah seorang Imam menghadap ke kiblat, dalilnya pada perkara tersebut adalah hadits ‘Abdulloh bin Zaid: bahwasanya beliau ketika hendak berdoa, dalam sebuah riwayat: berdoa menghadap kiblat dan memindahkan selendangnya.” [lihat “Ithafun Nubala” (hal.120)]

[ 16 ] Disunnahkan bagi Imam sholat istisqo’ untuk memindahkan selendang.
Ibnul Mulaqqin rohimahulloh mengatakan:
«تَحْوِيلُ الرِّدَاءِ هُوَ مِنْ بَابِ التَّفَاؤُلِ، وَانْقِلَابِ الحَالِ مِنَ الشِّدَّةِ إِلَى السَّعَةِ. وَجُمْهُورُ العُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ تَحْوِيلَهُ سُنَّةٌ».
“Memindahkan selendang adalah dari bab tafa’aul (mengharapkan kebaikan), dan berpindahnya keadaan dari susah menjadi longgar, dan jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa meimndahkannya adalah sunnah.” [lihat “Al-‘ilam” (4/320)]

TANBIH PERTAMA:
Memindahkan selendang ketika sedang berkhutbah dan hendak berdoa.
Al-Hafidz rohimahulloh mengatakan:
«أَنَّ التَّحْوِيْلَ وَقَعَ فِي أَثْنَاءِ الخُطْبَةِ عِنْدَ إِرَادَةِ الدُّعَاءِ».
“Bahwa pemindahan (selendang) terjadi ketika sedang berkhutbah dan hendak berdoa.” [lihat “Al-Fath” (2/643)]

TANBIH KEDUA:
Pemindahan selendang tidaklah dilakukan oleh Imam kecuali ketika ia keluar pergi ke tanah lapang.
Syaikhuna ‘Abdul Hamid Al-Hajuri hafidzohulloh mengatakan:
«الرِّدَاءُ إِنَّمَا يَحُوَّلُ فِي الكَيْفِيَّةِ الثّاَلِثَةِ، وَهِيَ الخُرُوجُ إِلَى المُصَلَّى، أَمَّا فِي الدُّعَاءِ المُجَرِّدِ، أَوِ الاِسْتِسْقَاءِ فِي خُطْبَةِ الجُمُعَةِ، فَلَا يُحَوَّلُ، يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ حَدِيْثُ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ َعْنُه عِنْدَ البُخَارِي رَقْم:(1018)، وَفِيْهِ، فَدَعَا اللهَ يَسْتَسْقِي، وَلَمْ يَذْكُرْ أَنَّهُ حَوَّلَ رِدَاءَهُ، وَلاَ اسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ».
“Selendang hanya dipindahkan ketika pada tata cara ketiga, yaitu ketika keluar ke tanah lapang, adapun ketika dalam keadaan berdoa saja atau istisqo’ pada khutbah jum;ah, maka tidak dipindahkan selendangnya, yang menujukkan hal ini adalah hadits Anas dalam riwayat A-Bukhori (no.1018); terdapat padanya: (kemudian berdoa kepada Alloh untuk istisqo’.) tidak disebutkan bahwasanya beliau memindahkan selendangnya dan tidak pula menghadapkan ke kiblat.” [lihat “Ithafun Nubala” (hal.133)]
[9:18 29/10/2015] ‪+62 822-3373-8171‬: [ 17 ] Tidak diperlukan syarat idzin penguasa dalam penegakan sholat istisqo’.
Penulis kitab “Zadul Mustaqni’” mengatakan:
«وَلَيْسَ مِنْ شَرْطِهَا إِذْنُ الإِمَامِ»
“Bukanlah dari syaratnya sholat istisqo’ idzinnya Imam.” [(5/291)]

Ibnu Utsaimin rohimahulloh mensyarah perkataan tersebut:
«أَيّ لَيْسَ مِنْ شَرْطِهَا أَنْ يَأْذَنَ الإِمَامُ بِذَلِكَ، بَل إَذَا قَحِطَ المَطَرُ، وَاجْدَبَتِ الأَرْضُ؛ خَرَجَ النَّاسُ، وَصَلَّوا، وَلَو صَلَّى كُلُّ بَلَدٍ وَحْدَهُ؛ لَم يَخْرُجُوا عَنِ السُّنَّةِ. بَل لَو وُجِدَ السَّبَبُ، وَقَالَ الإِمَامُ: لاَ تُصَلُّوا، فَإِنَّ فِي مَنْعِهِ إِيَّاهُمْ نَظَرٌ؛لِأَنَّهُ وُجِدَ السَّبَبُ، فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَمْنَعَهُمْ».
“Yakni bukanlah dari syaratnya  (Istisqo’) adalah idzinnya Imam untuk hal tersebut, bahkan kalau telah terjadi kekeringan hujan, dan keringnya bumi, (hendaknya) manusia keluar serta mengerjakan sholat, walau pun sholat setiap daerah mendirikannya sendiri-sendiri, maka mereka tidaklah sampai keluar dari sunnah. Bahkan kalau mereka telah mendapati sebab, dan Imam mengatakan: jangan sholat, maka pelarangannya terhadap mereka perlu dicermati lagi, karena telah didapati sebabnya, maka tidaklah pantas baginya untuk melarang mereka.”

TANBIH:
Perincian dalam beberapa keadaan yang diperlukan idzin kepada penguasa untuk Istisqo’.
Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafidzohulloh mengatakan:
«إِنْ كَانَ الاِسْتِسْقَاءُ عَامٌ فِي جَمِيْعِ البِلاَدِ، فَإِنَّهُ يُشْتَرَطُ إِذْنُهُ كَصَلاَة ِالعِيْدِ، وَإِنْ كَانَ الاِسْتِسْقَاءُ خَاصًّا، أَيْ فِي مَنْطِقَةٍ دُونَ مَنْطِقَةٍ، فَلَا يُشْتَرَطُ».
Kalau istisqo’ ini menyeluruh pada semua tempat, maka disyaratkan idzinnya Imam sebagaimana sholat ‘Ied, dan kalau istisqo ini hanya bersifat khusus yakni pada sebgaian tempat saja, maka tidaklah disyaratkan (idzin).”

[ 18 ] Tidak disyari’atkan berpuasa untuk mengerjakan sholat Istisqo’!
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan:
«لاَ يُشْرَعُ الصَّومُ لِلإِسْتِسْقَاءِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَرَجَ لِلإِسْتِسْقَاءِ، وَلَمْ يَأْمُرْ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ بِالصِّيَامِ، وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْهُ أَنَّهُ صَامَ.
وَإِذَا أَمَرَ الإِمَامُ بِالصَّوْمِ لاَ تَلْزَمْ طَاعَتَهُ فِي ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ أَمَرَ  بِمَا لَمْ يَشْرَعْ اللهُ  فِي هَذِهِ العِبَادَةِ، وَبِمَا لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ –صلى الله عليه وسلم-.»
“Tidaklah disyari’atkan puasa untuk istisqo’, karena Nabi shollallohu alaihi wa sallam ketika keluar untuk istisqo’ tidaklah memerintahkan para shohabatnya rodhiyaAllohu anhum untuk berpuasa, dan tidak pula dinukilkan darinya bahwasanya beliau melakukan puasa. Maka apabila seorang Imam memerintahkan untuk berpuasa, maka tidaklah menghaaruskan untuk mentaatinya dalam hal tersebut, karena ia telah memerintahkan yang tidaklah disyari’atkan Alloh dalam suatu ibadah dan tidak pula dikerjakan oleh Nabi shollallohu alihi wa sallam.” [lihat “Majmu’ Fatawa” (no.1437)]

[  19 ] Disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika berdoa Istisqo’.
مِنْ حَدِيْثِ أَنَسٍ قَاَل: «أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ اسْتَسْقَى، فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفِّهِ إِلَى السَّمَاءِ».
Dari hadits Anas bin Malik rodhiyaAllohu anhu: Bahwasanya Nabi shollallohu alaihi wa sallam beristisqo’, maka beliau menadahkan punggung telapak tangannya ke arah langit.” [HR. Muslim (no.897)]

Al-Hafidz Ibnu Rojab rohimahulloh mengatakan:
«وَلاَ أَعْلَمُ أَحَدًا مِنَ العُلَمَاءِ خَالَفَ فِي اسْتِحْبَابِ رَفْعُ اليَدَيْنِ فِي دُعَاءِ الاِسْتِسْقَاءِ، وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا فِي غَيْرهِ مِنَ الدُّعَاءِ.
وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا فِي صِفَةِ الرَّفْعِ عَلَى حَسَبِ اخْتِلَافِ الرِّوَايَاتِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي ذَلِكَ فِي الاِسْتِسْقَاءِ، وَقَد رُوِيَ عَنِ النِّبِيِّ ﷺ فِي ذَلِكَ خَمْسَةُ أَنْوَاعٍ:
أَحَدُهَا الإِشَارَةُ بِإِصْبَعٍ وَاحِدَةٍ إِلَى السَّمَاءِ.
الثَّانِيُّ: رَفْعُ اليَدَيْنِ، وَبَسْطُهَا، وَجَعَلَ بَطُونَهَا إِلَى السَّمَاءِ، وَهَذَا هُوَ المُتَبَادِرُ فَهْمُهُ مِنْ حَدِيْثِ أَنَسٍ فِي رَفْعِ النَّبِيِّ ﷺ يَدَيهِ فِي دُعَاءِ الاِسْتِسْقَاءِ يَوْمَ الجُمُعَةِ عَلَى المِنْبَرِ.
النَّوْعُ الثَّالِثُ: أَنْ يَرْفَعَ يَدَيْهِ، وَيَجْعَلُ ظُهُورُهُمَا إِلَى القِبْلَةِ، وَبُطُونُهَمَا مِمَّا يَلِي وَجْهِهِ،
النَّوعُ الرَّابِعُ: عَكْسُ الثَّالِثِ، وَهُوَ أَنْ يَجْعَلَ ظَهُورُهُمَا مِمَّا يَلِي وَجْهِ الدَّاعِي.
النَّوعُ الخَامِسُ: أَنْ يُقَلِّبَ كَفَيَّه، وَيَجْعَلُ ظُهُورهُمَا مِمَّا يَلِي السَّمَاءَ، وَبَطُونُهَمَا فيِما يَلِي الأَرْضَ مَعَ مَدِّ اليَدَيْنِ، وَرَفْعُهُمَا إِلَى السَّمَاءِ.
“Aku tidaklah mengetahui satupun dari para ‘Ulama yang menyelisihi tentang mustahabnya mengangkat kedua tangan ketika doa istisqo’, akan tetapi mereka berselisih pada selainnya dari perkara berdoa’.
Akan tetapi mereka berselisihtentang sifat mengangkat (tangan) berdasarkan riwayat-riwayat (yang datang) dari Nabi shollallohu alaih wa sallam dalam hal ini pada Istisqo’. Telah diriwyatkan dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam 5 macam:

Pertama: Isyarat tangan satu ke arah langit.
Kedua: mengangkat kedua tangan dan melebarkannya, seraya menjadikan bagian dalam telapak tangan kea rah langit, (sifat seperti ini) adalah apa yang terlintas dibenak dari hadits Anas dalam (perkara) pengangkatan kedua tangan Nabi ketika berdoa istisqo’ pada hari jum’at di atas minbar.
Ketiga: mengangkat kedua tangannya, seraya menjadikan punggung telapak tangannya mengarah ke kiblat, serta bagian dalam kedua telapak tangan mengarah ke wajah.
Keempat: kebalikan dari sifat yang ketiga, yaitu ia menjadikan bagian punggung kedua telapak tangan mengarah ke wajah yang berdoa.
Kelima: membalikkan kedua telapak tangannya seraya menjadikan bagian dalamnya mengadah ke arah langit dan bagian dalamnya mengarah ke tanah diserta dengan membentangkan kedua tangannya dan mengangkat keduanya ke langit.” [lihat “Fathul Bari” (9/219) dengan sedikit perubahan]

[ 20 ] Lafadz doa Istisqo’.
مِنْ حَدِيْثِ أَنسٍ رَضِيَ اللُه عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَفَعَ يَدَهُ، ثُمَّ قَالَ: »اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا«.
Dari hadits Anas bin Malik rodhiyaAllohu anhu berkata: bahwasanya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya seraya berkata: “Ya Alloh berikanlah hujan, Ya Alloh berikanlah hujan, Ya Alloh berikanlah hujan.” [Muttafaqun alaih]

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: »الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَاَلِمينَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْم ِمَالِكِ يَومِ الدِّيْنِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَنْتَ الغَنِيُّ، وَنَحْنُ الفُقَراَءُ، انْزِلْ عَلَيْنَا الغَيْثَ، وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ عَلَيْنَا مَتَاعًا، وَبَلاَغًا إِلَى حِيْنِ«.
Dari hadits ‘Aisyah dalam riwayat Abu Dawud: bahwasanya Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Segala puji bagi Alloh Robb semesta alam, Ar-Rohman (Maha Pemurah) lagi Ar-Rahim (Maha Penyanyang) pemilik hari pembalasan, Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Alloh, Melaksanakan apa yang Ia kehendaki, Ya Alloh Engkau adalah Alloh yang tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkau adalah Al-Ghoniy (Maha Kaya) dan kami adalah orang-orang fuqoro’, turunkanlah kepada kami hujan, dan jadikanlah apa yang Engkau turunkan kepada kami sebagai harta bermanfaat sampai pada waktu yang tertentu.” [HR. Abu Dawud (no.1173) dan dihasankan oleh Syaikhuna Muhammad bin Hizam Al-Ba’dani hafidzohulloh]

Ngawi, 16 Muharrom 1437 Hijriyyah.

Comments
0 Comments

0 comments

Post a Comment

Dengan berkomentar maka Anda telah membantu Saya mengingat kembali postingan yang saya publikasikan. Terima Kasih...