Tentang masalah bermudah-mudahnya sebagian orang untuk melakukan pelanggaran syariat dengan alasan bahwasanya hal itu masih diperselisihkan oleh para ulama, maka perbuatan tadi adalah langkah yang keliru dan berbahaya.
Setiap hamba wajib untuk taat pada Alloh dan Rosul-Nya secara mutlak. Dan berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا الله وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى الله وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِالله وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا﴾ [النساء: 59].
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Alloh dan taatilah Rosul dan para pemegang urusan di antara kalian. Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara maka kembalikanlah pada Alloh dan Rosul jika kalian memang beriman pada Alloh dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih bagus kesudahannya.”
Dari mana kita tahu sumber yang harus ditaati? Kemana kita merujuk saat ada perselisihan?
Tentu saja pada Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana yang disebutkan di atas dan di dalam dalil-dalil yang lain, dengan pamahaman Salaful Ummah.
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:
«أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبداً حبشيّاً، فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيراً فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضّوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة». (أخرجه أبو داود (4594)).
“Kuwasiatkan kalian untuk bertaqwa pada Alloh, dan mendengar dan taat kepada pemerintah, sekalipun dia itu adalah budak Habasyah, karena orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk memegang sunnahku dan sunnah Al Khulafaur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang teguhlah dia dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan hindarilah setiap perkara yang muhdats karena yang muhdats itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Abu Dawud (4594) dan lainnya dihasankah oleh Al Wadi’iy -rohimahullohu- dalam “Ash Shohihul Musnad” (921)).
Maka ketika terjadi perselisihan, bukan berarti kita boleh memilih apa yang paling disukai oleh hawa nafsu, tapi kita usahakan untuk memahami dari masing-masing pihak dan kita memilih mana yang nampak paling sesuai dengan dalil.
Alloh ta’ala berfirman:
{الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ} [الزمر: 18]
“Yaitu orang-orang yang mendengar dan memperhatikan ucapan lalu mereka mengikuti yang terbaiknya. Mereka itulah orang-orang yang Alloh beri petunjuk. Dan mereka itulah orang-orang yang memiliki mata hati.”
Jadi orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Alloh lagi berakal kuat bukanlah orang-orang yang malas memeriksa pendapat manakah yang nampak paling sesuai dengan dalil. Dan mereka bukanlah orang yang meremehkan kemaksiatan dengan alasan bahwasanya para ulama masih berselisih dalam masalah tadi.
Tidak pantas kita bernyanyi dan bermain musik dengan alasan bahwasanya Ibnu Hazm membolehkannya.
Tidak halal bagi kita meminum sari buah yang sudah mulai memabukkan dengan alasan bahwasanya Abu Hanifah membolehkannya.
Tidak boleh bagi seseorang untuk menikahi gadis yang lahir dari hasil perzinaannya dengan alasan bahwasanya Asy Syafi’iy membolehkan.
Harom bagi kita untuk memotret makhluk bernyawa dengan alasan bahwasanya sebagian ulama Saudi membolehkannya.
Al Imam Abu Amr Ibnush Sholah rohimahulloh berkata: “Tidaklah setiap perselisihan itu kita boleh mengikutinya dengan santai dan bertopang padanya. Dan barangsiapa mengikuti perkara yang diperselisihkan oleh para ulama dan mengambil yang ringan-ringan dari pendapat mereka, dia akan menjadi zindiq (munafiq I’tiqodiy) atau hampir-hampir menjadi zindiq.” (“Fatawa Ibnish Sholah”/2/hal. 79).
Dan Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله : “Dan barangsiapa mengikuti rukhshoh-rukhshoh dari madzhab-madzhab yang ada, dan ketergelinciran para mujtahidin, akan rapuhlah agamanya, sebagaimana perkataan Al Auza’iy atau yang lainnya: “Barangsiapa mengambil perkataan ahli Makkah dalam masalah nikah mut’ah, dan ahli Kufah dalam masalah nabidz, dan ahlul Madinah dalam masalah nyanyian, dan ahlusy Syam dalam masalah ma’shumnya kholifah, maka sungguh dia telah mengumpulkan semua kejelekan. Demikian pula yang mengambil pendapat orang yang memakai tipu daya dalam masalah perdagangan riba, dan pendapat orang yang berlapang-lapang dalam masalah tholaq dan nikah tahlil, dan yang seperti itu, maka sungguh dia telah menyodorkan diri untuk lepas dari agama.” (“Siyar A’lamin Nubala”/8/hal. 90/tarjumah Al Imam Malik/Ar Risalah).
Maka kita wajib menjalankan prinsip dari dalil-dalil di atas untuk berusaha mencari pendapat yang paling kuat dari perselisihan para ulama.
Jika kita telah mencurahkan kesungguhan untuk itu, lalu kita ikuti apa yang nampak paling kuat pendalilannya, maka itulah puncak kemampuan kita.
Alloh ta’ala berfirman:
{ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا } [البقرة: 286]
“Aloh tidak membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.”
Dan seorang mukmin tetap membuka diri untuk mendapatkan hidayah di masa yang akan iasg dan mengoreksi kesalahan di masa yang lalu.
Dari Idris Al Audiy yang berkata: Sa’id bin Abi Burdah mengeluarkan sebuah surat pada kami seraya berkata: “Ini adalah surat Umar ibnul Khoththob kepada Abu Musa Al Asy’ariy رضي الله عنهما : “Kemudian setelah itu: janganlah sampai menghalangi dirimu suatu ketetapan yang telah engkau putuskan kemarin untuk engkau kembali kepada kebenaran, karena kebenaran itu sudah lebih lama ada, dan tiada sesuatupun yang ias membatalkan kebenaran. Dan merujuk pada kebenaran itu lebih baik daripada berlama-lama dalam kebatilan.” (diriwayatkan oleh Al Baihaqiy/”As Sunanul Kubro”/no. (20871)).
Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Maka senantiasa seorang hamba yang mukmin itu selalu menjadi jelaslah baginya kebenaran yang sebelumnya tidak diketahuinya, dan rujuk dari amalan yang dulu dia zholim di dalamnya.” (“Majmu’ul Fatawa”/3/hal. 348).
والله تعالى أعلم.
faedah ini ana ambil dari ustadz Abu Fayruz 'Abdurrohman Kudus hafidzohulloh